1. Pendahuluan
Aset tetap merupakan komponen
fundamental dalam struktur aset sebagian besar entitas bisnis, memegang peranan
krusial dalam mendukung kegiatan operasional, terutama pada perusahaan padat
modal seperti manufaktur atau infrastruktur. Nilai aset tetap yang seringkali
signifikan memberikan dampak material terhadap penyajian posisi keuangan
entitas dalam laporan posisi keuangan (neraca).
Lebih lanjut, alokasi biaya
perolehan aset tetap melalui mekanisme penyusutan secara langsung memengaruhi
perhitungan laba rugi periodik. Kesalahan dalam penerapan perlakuan akuntansi
aset tetap, khususnya pada tahap perolehan awal, dapat berakibat pada salah
saji nilai aset dan laba, yang pada gilirannya dapat mengarah pada pengambilan
keputusan ekonomi yang keliru oleh para pengguna laporan keuangan. Oleh karena
itu, penerapan standar akuntansi yang tepat dan konsisten untuk aset tetap
menjadi sangat penting guna memastikan penyajian laporan keuangan yang wajar
dan andal.
Di Indonesia, kerangka acuan
utama untuk perlakuan akuntansi aset tetap diatur dalam Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Secara spesifik, PSAK 216: Aset Tetap merupakan standar yang akan berlaku
efektif mulai 1 Januari 2025 (dengan relevansi untuk periode pelaporan per
April 2025 sesuai permintaan pengguna), menggantikan standar sebelumnya, yaitu
PSAK 16: Aset Tetap.
Tulisan ini bertujuan untuk
menguraikan secara komprehensif dan mendalam mengenai perlakuan akuntansi
spesifik untuk tahap perolehan aset tetap sebagaimana diatur dalam PSAK
216, dengan mengacu pada publikasi dan sumber resmi IAI serta materi relevan
lainnya.
Penting untuk dipahami bahwa
penerbitan PSAK 216 dan penomoran ulang standar-standar lainnya merupakan
bagian dari upaya berkelanjutan IAI dalam melakukan konvergensi dengan International
Financial Reporting Standards (IFRS). Penomoran ulang ini, seperti
perubahan dari PSAK 16 menjadi PSAK 216, menyelaraskan struktur SAK Indonesia
dengan IFRS Accounting Standards. Selain itu, amendemen-amendemen
penting yang sebelumnya diterapkan pada PSAK 16, seperti klarifikasi mengenai
perlakuan hasil sebelum penggunaan yang diintensikan yang diadopsi dari IAS 16
, kemungkinan besar akan tetap relevan dan terintegrasi dalam PSAK 216.
Konteks konvergensi ini
mengindikasikan bahwa meskipun PSAK 216 merupakan standar baru yang
menggantikan PSAK 16, prinsip-prinsip inti akuntansi aset tetap yang selaras
dengan IFRS akan tetap dipertahankan, sambil mengadopsi pembaruan dan
klarifikasi internasional terkini. Bagi para profesional akuntansi, hal ini
menuntut pemahaman tidak hanya terhadap teks PSAK 216 itu sendiri, tetapi juga
kesadaran akan latar belakang IFRS dan potensi interpretasi lebih lanjut yang
mungkin muncul seiring perkembangan standar global. Kesiapan untuk terus
beradaptasi dengan pembaruan standar menjadi kunci dalam praktik akuntansi
modern.
2. Identifikasi Standar dan
Ruang Lingkup PSAK 216
Standar akuntansi keuangan
yang secara spesifik mengatur perlakuan akuntansi untuk aset tetap di
Indonesia, yang berlaku efektif untuk periode dimulai pada atau setelah 1
Januari 2025, adalah PSAK 216: Aset Tetap. Standar ini diterbitkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan secara resmi menggantikan standar
sebelumnya, yaitu PSAK 16: Aset Tetap. PSAK 216 menjadi pedoman utama bagi
entitas dalam mengakui, mengukur, menyajikan, dan mengungkapkan informasi terkait
aset tetap dalam laporan keuangannya.
PSAK 216 memiliki ruang
lingkup penerapan yang luas, mencakup akuntansi untuk semua aset tetap,
kecuali dalam kondisi di mana standar akuntansi keuangan (SAK) lain secara
eksplisit mensyaratkan atau mengizinkan perlakuan akuntansi yang berbeda.
Penting bagi entitas untuk mengidentifikasi secara tepat apakah suatu aset
termasuk dalam cakupan PSAK 216 sebelum menerapkan ketentuannya.
Berdasarkan praktik yang umum
diadopsi dari PSAK 16 (yang digantikan oleh PSAK 216) dan standar terkait
lainnya, terdapat beberapa pengecualian utama dari ruang lingkup PSAK 216:
- Aset Tetap yang Diklasifikasikan sebagai
Dimiliki untuk Dijual: Aset tetap yang memenuhi kriteria
untuk diklasifikasikan sebagai "dimiliki untuk dijual" sesuai
dengan ketentuan dalam PSAK 105 (sebelumnya PSAK 58): Aset Tidak Lancar
yang Dimiliki untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan, tidak lagi diatur
oleh PSAK 216. Aset ini akan diukur dan disajikan sesuai dengan PSAK
105/58.
- Aset Biologis Terkait Aktivitas
Agrikultur: Pengakuan dan pengukuran aset biologis
yang berkaitan dengan aktivitas agrikultur diatur secara spesifik dalam
PSAK 69: Agrikultur.
- Aset Eksplorasi dan Evaluasi:
Pengakuan dan pengukuran aset yang timbul dari eksplorasi dan evaluasi
sumber daya mineral diatur dalam PSAK 64: Aktivitas Eksplorasi dan
Evaluasi pada Pertambangan Sumber Daya Mineral.
- Hak Penambangan dan Cadangan Mineral:
Hak penambangan serta cadangan mineral seperti minyak bumi, gas alam, dan
sumber daya alam tidak terbarukan sejenis lainnya juga berada di luar
ruang lingkup PSAK 216.
Memahami pengecualian ruang
lingkup ini merupakan langkah awal yang krusial. Sebelum menerapkan ketentuan
pengakuan dan pengukuran dalam PSAK 216, entitas harus terlebih dahulu
memastikan bahwa aset yang bersangkutan memang benar-benar termasuk dalam cakupan
standar ini. Kesalahan dalam identifikasi ruang lingkup dapat mengakibatkan
penerapan standar akuntansi yang keliru, misalnya, mengukur aset yang
seharusnya tunduk pada PSAK 105/58 dengan menggunakan metode biaya atau
revaluasi PSAK 216, atau sebaliknya. Oleh karena itu, analisis cermat terhadap
sifat dan tujuan penggunaan aset sangat diperlukan untuk memastikan klasifikasi
yang tepat dan penerapan standar akuntansi yang relevan, sehingga mencegah
potensi salah saji dalam laporan keuangan sejak tahap awal.
3. Definisi Aset Tetap Menurut
PSAK 216
PSAK 216 mendefinisikan aset
tetap sebagai aset berwujud yang memenuhi dua kriteria utama :
- Dimiliki untuk digunakan
dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk direntalkan kepada
pihak lain, atau untuk tujuan administratif; dan
- Diperkirakan akan digunakan selama lebih
dari satu periode.
Definisi ini mengandung
beberapa elemen kunci yang perlu dipahami:
- Berwujud (Tangible):
Aset tetap harus memiliki substansi atau bentuk fisik yang nyata.
Karakteristik ini membedakannya secara jelas dari aset takberwujud
(seperti hak paten, merek dagang, atau goodwill) yang pengakuannya diatur
dalam PSAK 238 (sebelumnya PSAK 19).
- Tujuan Penggunaan (Purpose of Holding):
Aset tetap dimiliki bukan untuk tujuan dijual kembali dalam kegiatan
normal operasi bisnis entitas. Sebaliknya, aset ini digunakan secara aktif
dalam operasional perusahaan untuk menghasilkan pendapatan selama masa
manfaatnya, baik melalui proses produksi barang, penyediaan jasa,
disewakan (direntalkan) kepada pihak lain, maupun untuk mendukung fungsi
administratif perusahaan. Tujuan penggunaan ini membedakan aset tetap dari
persediaan (yang diatur dalam PSAK 202/14, yang memang dimaksudkan untuk
dijual) dan dari properti investasi (yang diatur dalam PSAK 240/13, yang
dimiliki untuk menghasilkan rental atau kenaikan nilai, bukan digunakan
dalam operasi utama).
- Masa Manfaat (Useful Life): Aset
tetap diharapkan memberikan manfaat ekonomik kepada entitas selama lebih
dari satu periode akuntansi, yang umumnya diartikan sebagai lebih dari
satu tahun. Karakteristik jangka panjang ini membedakannya dari aset
lancar yang diharapkan dapat direalisasikan atau digunakan dalam satu
siklus operasi normal atau satu tahun.
Penekanan pada tujuan
penggunaan dalam definisi aset tetap sangatlah penting. Klasifikasi suatu
item sebagai aset tetap tidak hanya bergantung pada bentuk fisiknya, tetapi
lebih pada intensi manajemen dan bagaimana aset tersebut digunakan dalam
operasi entitas. Sebagai contoh, sebuah kendaraan yang dibeli oleh perusahaan
manufaktur untuk mengangkut barang produksinya akan diklasifikasikan sebagai
aset tetap. Namun, kendaraan yang identik yang dibeli oleh dealer mobil untuk
dijual kepada pelanggan akan diklasifikasikan sebagai persediaan.
Demikian pula, bangunan yang
digunakan sebagai kantor pusat operasi adalah aset tetap, sedangkan bangunan
yang sama yang dimiliki untuk disewakan kepada pihak lain guna memperoleh
pendapatan sewa (dan tidak digunakan signifikan oleh pemilik) akan lebih tepat
diklasifikasikan sebagai properti investasi menurut PSAK 240/13. Oleh karena
itu, penentuan klasifikasi aset memerlukan analisis substansi atas tujuan
perolehan dan penggunaannya.
Dokumentasi yang memadai
mengenai intensi manajemen pada saat akuisisi menjadi bukti pendukung yang
relevan. Perlu dicatat pula bahwa jika terjadi perubahan signifikan dalam
tujuan penggunaan di kemudian hari (misalnya, aset tetap yang semula digunakan
dalam operasi kemudian diputuskan untuk dijual), maka reklasifikasi aset
mungkin diperlukan sesuai standar yang relevan, seperti PSAK 105/58.
4. Pengakuan Awal Aset Tetap
Agar suatu pengeluaran dapat
diakui dan dicatat sebagai aset tetap dalam laporan posisi keuangan, PSAK 216
menetapkan dua kriteria pengakuan yang harus dipenuhi secara kumulatif :
- Besar Kemungkinan (Probable) Entitas Akan
Memperoleh Manfaat Ekonomik Masa Depan dari Aset Tersebut:
Harus terdapat ekspektasi yang cukup tinggi bahwa penggunaan aset tersebut
akan memberikan kontribusi, baik secara langsung maupun tidak langsung,
terhadap aliran kas masuk bersih ke entitas di masa mendatang. Manfaat
ekonomi ini dapat berupa peningkatan pendapatan, penurunan biaya
operasional, atau manfaat lain yang dapat diukur secara ekonomi. Termasuk
dalam kriteria ini adalah perolehan aset tetap untuk alasan keamanan atau
lingkungan. Meskipun aset semacam itu mungkin tidak secara langsung
meningkatkan manfaat ekonomi dari aset lain yang sudah ada, perolehannya
mungkin diperlukan agar entitas dapat terus memperoleh manfaat ekonomi
dari aset-aset lainnya.
- Biaya Perolehan Aset Tersebut Dapat Diukur
Secara Andal (Reliably Measured): Entitas harus dapat
menentukan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh aset tersebut
secara wajar dan objektif. Keandalan pengukuran ini biasanya didukung oleh
bukti transaksi yang valid, seperti faktur pembelian, kontrak konstruksi,
atau dokumen kepemilikan lainnya yang mencantumkan harga atau biaya yang
relevan.
Kedua kriteria ini—manfaat
ekonomi masa depan yang besar kemungkinannya dan pengukuran biaya yang
andal—harus dipenuhi secara bersamaan agar suatu item dapat diakui
sebagai aset tetap. Jika salah satu kriteria tidak terpenuhi, maka pengeluaran
tersebut tidak dapat dikapitalisasi sebagai aset tetap, melainkan harus diakui
sebagai beban pada periode saat terjadinya. Sebagai contoh, suatu entitas
mungkin mengeluarkan biaya yang dapat diukur secara andal, tetapi jika tidak
ada ekspektasi manfaat ekonomi masa depan yang signifikan dari pengeluaran
tersebut (misalnya, biaya perbaikan rutin yang tidak menambah umur atau
kapasitas aset), maka biaya tersebut dibebankan. Sebaliknya, suatu item mungkin
diharapkan memberikan manfaat ekonomi di masa depan, tetapi jika biaya
perolehannya tidak dapat ditentukan secara andal (misalnya, aset yang diterima
sebagai donasi tanpa adanya dasar penilaian nilai wajar yang memadai), maka
item tersebut juga tidak dapat diakui sebagai aset tetap.
Keterkaitan erat antara kedua
kriteria ini menggarisbawahi pentingnya proses penilaian yang cermat pada saat
perolehan aset. Entitas perlu mengevaluasi baik aspek kualitatif (potensi
manfaat ekonomi) maupun aspek kuantitatif (keandalan pengukuran biaya).
Sistem pengendalian internal yang efektif seputar proses akuisisi dan otorisasi
belanja modal sangat diperlukan untuk memastikan bahwa hanya pengeluaran yang
memenuhi kedua kriteria tersebut yang dikapitalisasi sebagai aset tetap.
Mengenai saat pengakuan,
kriteria pengakuan umumnya dianggap terpenuhi ketika risiko dan manfaat
signifikan (rewards and risks) terkait kepemilikan aset telah berpindah kepada
entitas. Momen ini seringkali bersamaan dengan saat entitas menerima penyerahan
fisik aset atau saat hak kepemilikan hukum atas aset tersebut dialihkan.
5. Pengukuran Awal: Komponen
Biaya Perolehan Aset Tetap
5.1. Prinsip Dasar Pengukuran
Awal
Setelah suatu item memenuhi
kriteria untuk diakui sebagai aset tetap, langkah selanjutnya adalah menentukan
nilai awal yang akan dicatat dalam laporan posisi keuangan. PSAK 216 menetapkan
bahwa pada saat pengakuan awal, aset tetap harus diukur sebesar biaya
perolehannya (cost).
Biaya perolehan didefinisikan
sebagai jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan, atau nilai wajar dari
imbalan lain yang diserahkan oleh entitas, untuk memperoleh suatu aset pada
saat perolehan atau konstruksinya. Prinsip pengukuran berbasis biaya perolehan
ini bertujuan untuk mencatat aset pada nilai pengorbanan ekonomis yang
sesungguhnya dikeluarkan oleh entitas untuk mendapatkan aset tersebut hingga
siap digunakan sesuai dengan intensi manajemen.
5.2. Komponen Biaya Perolehan
Rinci
Biaya perolehan aset tetap
tidak hanya terbatas pada harga beli, tetapi mencakup semua pengeluaran yang
diperlukan untuk membawa aset tersebut ke lokasi dan kondisi yang diinginkan
agar siap digunakan. Sesuai dengan panduan dalam PSAK 216 (mengacu pada paragraf
16 dan sekitarnya, konsisten dengan PSAK 16), komponen biaya perolehan
meliputi:
(a) Harga Beli (Purchase
Price):
- Ini adalah harga yang tercantum dalam
faktur pembelian atau kontrak.
- Termasuk di dalamnya adalah bea impor
dan pajak pembelian yang tidak dapat dikreditkan (non-refundable taxes),
seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masukan yang berdasarkan ketentuan
perpajakan tidak dapat direstitusi atau dikompensasikan.
- Harga beli ini harus dikurangi
dengan diskon dagang (trade discounts) dan potongan pembelian
lainnya (rebates) yang diterima oleh entitas.
(b) Biaya yang Dapat
Diatribusikan Secara Langsung (Directly Attributable Costs):
- Ini adalah biaya-biaya tambahan yang
mutlak diperlukan untuk membawa aset ke lokasi (bringing the asset to the
location) dan kondisi (bringing the asset to the condition) yang
diperlukan agar aset tersebut siap beroperasi sesuai dengan maksud atau
intensi manajemen. Contoh spesifik biaya-biaya ini meliputi:
- Biaya penyiapan lokasi (costs of site
preparation).
- Biaya penanganan dan pengiriman awal
(initial delivery and handling costs).
- Biaya perakitan dan instalasi (assembly
and installation costs).
- Biaya profesional, seperti fee untuk
arsitek dan insinyur yang terkait langsung dengan perolehan atau
konstruksi aset.
- Biaya imbalan kerja (sesuai PSAK 24/219:
Imbalan Kerja) yang timbul secara langsung dari konstruksi atau akuisisi
aset tetap.
- Biaya pengujian (costs of testing)
apakah aset berfungsi dengan baik. Penting untuk dicatat adanya klarifikasi
signifikan melalui amendemen (yang diadopsi dari IAS 16 dan
kemungkinan besar berlaku untuk PSAK 216) :
- Hasil neto dari penjualan setiap item
yang diproduksi selama proses pengujian (misalnya, sampel produk yang
dihasilkan saat menguji mesin baru) tidak boleh dikurangkan dari
biaya perolehan aset tetap.
- Sebaliknya, hasil penjualan item
tersebut dan biaya pokok untuk memproduksinya (diukur sesuai PSAK
14/202: Persediaan) harus diakui secara terpisah dalam laporan laba
rugi. Amendemen ini menegaskan bahwa pengujian adalah bagian dari
proses membawa aset ke kondisi siap pakai, namun pendapatan atau biaya
insidental yang timbul selama pengujian tersebut tidak boleh mengubah
pengukuran biaya perolehan aset itu sendiri.
(c) Estimasi Awal Biaya
Pembongkaran, Pemindahan, dan Restorasi Lokasi (Initial Estimate of
Dismantling, Removal, and Site Restoration Costs):
- Komponen ini mencakup estimasi biaya yang
akan dikeluarkan oleh entitas di masa depan pada akhir umur manfaat aset
untuk membongkar (dismantling) dan memindahkan (removing) aset tersebut,
serta merestorasi (restoring) lokasi tempat aset berada.
- Biaya estimasi ini dimasukkan ke dalam
biaya perolehan aset tetap hanya jika entitas memiliki kewajiban
(obligation) hukum atau konstruktif atas biaya-biaya tersebut.
Kewajiban ini dapat timbul pada saat aset diperoleh atau sebagai
konsekuensi dari penggunaan aset selama periode tertentu untuk tujuan
selain menghasilkan persediaan.
- Pengakuan dan pengukuran kewajiban terkait
biaya pembongkaran dan restorasi ini harus mengacu pada ketentuan dalam PSAK
57 (Revisi terkait/PSAK 237): Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset
Kontinjensi.
5.3. Biaya yang Tidak Termasuk
dalam Biaya Perolehan
PSAK 216 (konsisten dengan
PSAK 16) juga mengklarifikasi jenis-jenis biaya yang tidak boleh
dimasukkan sebagai bagian dari biaya perolehan aset tetap, melainkan harus
diakui sebagai beban pada periode terjadinya. Contoh biaya-biaya tersebut
meliputi :
- Biaya pembukaan fasilitas baru.
- Biaya pengenalan produk atau jasa baru
(termasuk biaya iklan dan aktivitas promosi).
- Biaya penyelenggaraan bisnis di lokasi
baru atau dengan kelompok pelanggan baru (termasuk biaya pelatihan staf).
- Biaya administrasi dan overhead umum
lainnya, kecuali jika dapat dibuktikan secara jelas bahwa biaya tersebut
dapat diatribusikan secara langsung pada perolehan aset atau membawa aset
ke kondisi siap pakai.
- Biaya yang timbul setelah aset secara
fisik berada di lokasi dan kondisi yang siap digunakan sesuai intensi
manajemen, tetapi belum mulai dioperasikan atau baru beroperasi di bawah
kapasitas normal.
- Kerugian operasional awal yang mungkin
terjadi sebelum aset mencapai tingkat kinerja yang direncanakan.
- Biaya relokasi atau reorganisasi sebagian
atau seluruh operasi entitas.
- Biaya perawatan sehari-hari (day-to-day
servicing) aset tetap. Biaya ini, seperti biaya tenaga kerja dan bahan
habis pakai untuk pemeliharaan rutin, diakui dalam laba rugi sebagai beban
pemeliharaan dan perbaikan saat terjadi.
- Jumlah biaya abnormal atau pemborosan
(inefficiency) bahan baku, tenaga kerja, atau sumber daya lain yang
terjadi selama proses konstruksi aset (akan dibahas lebih lanjut pada
bagian Aset Dibangun Sendiri).
Ketepatan dalam
mengidentifikasi dan mengalokasikan biaya-biaya ini sangat penting. Biaya
perolehan yang dihitung akan menjadi dasar untuk pengukuran selanjutnya,
termasuk perhitungan beban penyusutan dan pengujian penurunan nilai di masa
depan. Memasukkan biaya yang seharusnya dibebankan ke dalam biaya perolehan
akan menyebabkan nilai aset di neraca terlalu tinggi (overstated) dan
beban pada laporan laba rugi terlalu rendah (understated) pada periode
berjalan, sehingga menghasilkan laba yang tampak lebih tinggi dari yang
seharusnya. Sebaliknya, membebankan biaya yang seharusnya dikapitalisasi akan
mengakibatkan nilai aset terlalu rendah dan beban terlalu tinggi, yang menekan
laba periode berjalan.
Perubahan penting seperti
amendemen terkait perlakuan hasil penjualan selama pengujian menunjukkan
penekanan standar pada prinsip bahwa biaya perolehan hanya boleh mencakup
pengeluaran yang benar-benar diperlukan untuk membawa aset ke kondisi
siap pakai sesuai intensi manajemen, dan tidak boleh dikurangi oleh
pendapatan insidental yang terjadi sebelum titik tersebut. Oleh karena itu,
entitas harus memiliki kebijakan akuntansi yang jelas, prosedur pengendalian
internal yang memadai, dan dokumentasi pendukung yang lengkap untuk setiap
komponen biaya yang dikapitalisasi guna memastikan akurasi dan kepatuhan
terhadap PSAK 216. Proses audit, baik internal maupun eksternal, akan
memberikan perhatian khusus pada validitas dan kelengkapan biaya perolehan yang
dikapitalisasi.
6. Penentuan Biaya Perolehan
untuk Metode Akuisisi Spesifik
Selain pembelian tunai
standar, aset tetap dapat diperoleh melalui berbagai cara. PSAK 216 memberikan
panduan spesifik mengenai penentuan biaya perolehan untuk beberapa metode
akuisisi yang umum terjadi:
6.1. Pembelian Tunai (Cash
Purchase)
Ini adalah metode perolehan
yang paling sederhana. Biaya perolehan aset tetap yang dibeli secara tunai
adalah sebesar jumlah kas atau setara kas yang dibayarkan oleh entitas. Jumlah
ini mencakup harga yang tertera pada faktur pembelian ditambah dengan semua
biaya tambahan yang dapat diatribusikan secara langsung untuk membawa aset ke
lokasi dan kondisi siap pakai, seperti biaya transportasi (angkut), biaya
pemasangan (instalasi), bea masuk, pajak pembelian non-refundable, dan biaya
profesional terkait langsung.
6.2. Pembelian dengan
Pembayaran Ditangguhkan (Deferred Payment Purchase)
Ketika aset tetap diperoleh
dengan skema pembayaran yang ditangguhkan melampaui jangka waktu kredit normal
(misalnya, pembelian secara angsuran jangka panjang), biaya perolehan aset
tersebut tidak sama dengan total jumlah pembayaran di masa depan.
Sebaliknya, biaya perolehan harus diukur sebesar nilai tunai setara (cash
price equivalent) pada tanggal pengakuan. Nilai tunai setara ini
merepresentasikan harga aset seandainya dibeli secara tunai pada saat
transaksi.
Selisih antara total
pembayaran yang akan dilakukan di masa depan dengan nilai tunai setara pada
dasarnya merupakan beban bunga yang merefleksikan biaya pendanaan selama
periode kredit. Beban bunga ini harus diakui secara periodik selama masa kredit
dan dibebankan ke laporan laba rugi.
Namun, terdapat pengecualian
penting terkait perlakuan beban bunga ini. Jika aset tetap yang diperoleh
dengan pembayaran ditangguhkan tersebut memenuhi kriteria sebagai aset
kualifikasian (qualifying asset) sebagaimana didefinisikan dalam PSAK 26
(Revisi terkait/PSAK 223): Biaya Pinjaman, maka beban bunga yang timbul
selama periode konstruksi atau persiapan aset tersebut harus dikapitalisasi
sebagai bagian dari biaya perolehan aset tetap, bukan dibebankan. Aset
kualifikasian adalah aset yang secara substansial membutuhkan waktu yang cukup
lama (substantial period of time) untuk disiapkan hingga siap digunakan sesuai
tujuannya atau siap untuk dijual.
Interaksi antara PSAK 216 dan
PSAK 223 ini sangat penting. Entitas tidak dapat secara otomatis membebankan
seluruh komponen bunga dalam pembelian angsuran. Perlu dilakukan analisis
apakah aset yang dibeli merupakan aset kualifikasian. Jika ya (misalnya, pembangunan
gedung atau instalasi pabrik yang kompleks yang dibiayai melalui angsuran
jangka panjang), maka bunga yang relevan selama periode pembangunan/persiapan
wajib dikapitalisasi sesuai ketentuan PSAK 223. Hal ini memastikan bahwa biaya
perolehan aset mencerminkan seluruh biaya yang diperlukan, termasuk biaya
pendanaan yang dapat diatribusikan langsung, untuk membawa aset kualifikasian
tersebut ke kondisi siap pakai. Penerapan yang benar memerlukan pemahaman
mendalam atas kedua standar tersebut.
6.3. Pertukaran Aset (Asset
Exchange)
Aset tetap dapat diperoleh
melalui pertukaran dengan aset non-moneter lain, atau kombinasi aset
moneter dan non-moneter. Pengukuran biaya perolehan aset tetap yang
diterima dalam transaksi pertukaran sangat bergantung pada apakah pertukaran
tersebut memiliki substansi komersial (commercial substance) atau tidak.
Suatu pertukaran dianggap
memiliki substansi komersial jika transaksi tersebut diharapkan menyebabkan
perubahan signifikan pada arus kas masa depan entitas. Secara lebih spesifik,
pertukaran memiliki substansi komersial jika :
- Konfigurasi (risiko, waktu, dan jumlah)
arus kas dari aset yang diterima berbeda secara signifikan dari
konfigurasi arus kas aset yang diserahkan; atau
- Nilai spesifik entitas (entity-specific
value) dari bagian operasi entitas yang terpengaruh oleh transaksi berubah
sebagai akibat dari pertukaran tersebut.
Dengan kata lain, posisi
ekonomi entitas secara fundamental berubah akibat transaksi pertukaran
tersebut.
Perlakuan akuntansinya
dibedakan sebagai berikut:
- Pertukaran dengan Substansi Komersial:
- Biaya perolehan aset tetap yang diterima
diukur pada nilai wajar (fair value). Nilai wajar yang digunakan
adalah nilai wajar aset yang diserahkan, kecuali jika nilai wajar aset
yang diterima lebih jelas atau lebih andal pengukurannya. Pengukuran ini
disesuaikan dengan jumlah kas atau setara kas yang ditransfer (dibayarkan
atau diterima) sebagai bagian dari pertukaran.
- Selisih antara nilai wajar aset yang
diserahkan dengan nilai tercatatnya (carrying amount) diakui sebagai keuntungan
atau kerugian pelepasan aset dalam laporan laba rugi pada periode
terjadinya pertukaran.
- Pertukaran Tanpa Substansi Komersial (atau
Nilai Wajar Tidak Dapat Diukur Andal):
- Jika pertukaran tidak memiliki substansi
komersial, atau jika nilai wajar dari aset yang diterima maupun aset yang
diserahkan tidak dapat diukur secara andal, maka biaya perolehan aset
tetap yang diterima diukur sebesar nilai tercatat (carrying amount)
aset yang diserahkan. Pengukuran ini juga disesuaikan dengan jumlah kas
atau setara kas yang ditransfer.
- Dalam kasus ini, tidak ada keuntungan
atau kerugian yang diakui pada saat pertukaran. Entitas pada dasarnya
melanjutkan nilai buku dari investasi sebelumnya ke dalam aset baru yang
diterima.
Aturan pertukaran ini
menyoroti prinsip akuntansi yang mengutamakan substansi ekonomi di atas
bentuk hukum (substance over form). Jika pertukaran secara fundamental
tidak mengubah posisi arus kas masa depan entitas (tidak ada substansi
komersial), maka mengakui keuntungan atau kerugian berdasarkan nilai wajar
dianggap tidak tepat karena lebih mencerminkan kelanjutan investasi pada nilai
historis. Sebaliknya, jika posisi ekonomi berubah, transaksi lebih menyerupai
penjualan aset lama dan pembelian aset baru, sehingga pengukuran nilai wajar
dan pengakuan laba/rugi menjadi relevan.
Penerapan aturan ini
memerlukan judgement profesional yang signifikan, baik dalam menilai
keberadaan substansi komersial (dengan menganalisis dampak pada arus kas)
maupun dalam menentukan nilai wajar secara andal (mengacu pada PSAK 68:
Pengukuran Nilai Wajar). Dokumentasi yang kuat atas analisis substansi
komersial dan dasar penentuan nilai wajar menjadi sangat penting untuk
keperluan audit dan pertanggungjawaban.
6.4. Aset Dibangun Sendiri
(Self-Constructed Assets)
Entitas dapat membangun
sendiri aset tetapnya daripada membelinya dari pihak eksternal. Biaya perolehan
aset tetap yang dibangun sendiri ditentukan menggunakan prinsip yang sama
seperti aset yang dibeli, yaitu mencakup semua biaya yang dapat diatribusikan
secara langsung untuk membawa aset tersebut ke kondisi siap pakai.
Komponen biaya perolehan aset
dibangun sendiri meliputi:
- Biaya bahan baku langsung (direct
materials) yang digunakan dalam konstruksi.
- Biaya tenaga kerja langsung (direct labor)
yang terlibat dalam proses pembangunan.
- Alokasi biaya overhead produksi yang
relevan. Ini termasuk overhead variabel dan bagian dari overhead tetap
yang dapat dialokasikan secara sistematis dan rasional ke proses
konstruksi, biasanya berdasarkan tingkat aktivitas normal atau kapasitas
normal fasilitas produksi. Alokasi overhead tetap harus hati-hati agar
tidak mengkapitalisasi biaya yang timbul akibat inefisiensi atau utilisasi
pabrik yang rendah.
Selain itu, terdapat dua aspek
penting lainnya dalam menentukan biaya perolehan aset dibangun sendiri:
- Kapitalisasi Biaya Pinjaman:
Sebagaimana dibahas sebelumnya, jika aset yang dibangun sendiri tersebut
memenuhi definisi aset kualifikasian menurut PSAK 26 (Revisi
terkait/PSAK 223): Biaya Pinjaman (yaitu, membutuhkan waktu
substansial untuk penyelesaian), maka biaya pinjaman yang dapat
diatribusikan secara langsung dengan proses konstruksi wajib
dikapitalisasi sebagai bagian dari biaya perolehan aset. Periode
kapitalisasi dimulai ketika pengeluaran untuk aset, biaya pinjaman, dan
aktivitas konstruksi telah dimulai, dan berakhir ketika aset secara
substansial siap untuk digunakan.
- Biaya Tidak Normal/Inefisiensi:
Jumlah biaya bahan baku, tenaga kerja, atau sumber daya lain yang terbuang
secara tidak normal (abnormal amounts of wasted resources) atau
akibat inefisiensi selama proses konstruksi tidak boleh
dimasukkan ke dalam biaya perolehan aset tetap. Biaya-biaya abnormal
ini harus diakui sebagai beban pada periode terjadinya. Prinsip ini
konsisten dengan konsep bahwa biaya perolehan hanya mencakup pengorbanan
ekonomis yang wajar dan diperlukan untuk memperoleh atau
membangun aset. Meskipun tidak secara eksplisit ditemukan dalam cuplikan
spesifik mengenai PSAK 216 , pengecualian biaya abnormal ini merupakan
prinsip fundamental dalam akuntansi biaya perolehan aset tetap yang
diadopsi dari PSAK 16 dan praktik akuntansi yang berlaku umum.
Penentuan biaya perolehan aset
dibangun sendiri seringkali lebih kompleks dibandingkan aset yang dibeli karena
melibatkan alokasi biaya internal seperti overhead dan bunga pinjaman. Entitas
memerlukan sistem akuntansi biaya yang andal untuk dapat melacak,
mengidentifikasi, dan mengalokasikan biaya-biaya ini secara akurat. Kebijakan
akuntansi yang jelas mengenai metode alokasi overhead, kriteria kapitalisasi
bunga sesuai PSAK 223, serta identifikasi dan perlakuan biaya abnormal
sangatlah penting untuk memastikan biaya perolehan aset tidak salah saji.
6.5. Perolehan Melalui Hibah
Pemerintah (Government Grants)
Aset tetap terkadang dapat
diperoleh melalui bantuan atau hibah dari pemerintah. Perlakuan akuntansi untuk
hibah pemerintah, termasuk yang berkaitan dengan perolehan aset, diatur secara
spesifik dalam PSAK 61 (Revisi terkait/PSAK 243): Akuntansi Hibah Pemerintah
dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah. PSAK 216 kemungkinan besar akan
merujuk ke standar ini untuk panduan detailnya.
Meskipun perolehan aset itu
sendiri (pengakuan awal dan pengukuran biaya perolehan/nilai wajar) tetap
mengikuti prinsip PSAK 216, perlakuan akuntansi atas hibah yang diterima
diatur oleh PSAK 243/61. Secara umum, untuk hibah pemerintah yang terkait
dengan aset (hibah yang syarat utamanya adalah agar entitas membeli, membangun,
atau mengakuisisi aset jangka panjang), PSAK 243/61 memperbolehkan entitas
memilih salah satu dari dua metode penyajian :
- Metode Pendapatan Ditangguhkan (Deferred
Income Method): Hibah diakui sebagai pendapatan
ditangguhkan dalam laporan posisi keuangan. Pendapatan ditangguhkan ini
kemudian diakui sebagai pendapatan dalam laporan laba rugi secara
sistematis dan rasional selama umur manfaat aset yang bersangkutan,
seringkali sejalan dengan pengakuan beban penyusutan aset tersebut.
- Metode Pengurang Aset (Deduction from
Asset Method): Hibah diakui sebagai pengurang terhadap
jumlah tercatat bruto aset tetap yang terkait. Akibatnya, hibah tersebut
akan diakui dalam laporan laba rugi selama umur manfaat aset melalui
pengurangan beban penyusutan tahunan.
Pilihan antara kedua metode
ini merupakan kebijakan akuntansi yang harus diterapkan secara konsisten oleh
entitas untuk hibah sejenis. Jika aset tetap diperoleh dalam bentuk hibah
non-moneter (misalnya, pemerintah memberikan tanah atau bangunan), aset tersebut
umumnya diukur pada nilai wajarnya pada saat perolehan, dan kemudian
hibah tersebut dicatat menggunakan salah satu dari dua metode di atas.
Penting untuk memisahkan
perlakuan akuntansi untuk perolehan aset (sesuai PSAK 216) dan perlakuan
akuntansi untuk hibah yang diterima (sesuai PSAK 243/61). Meskipun kedua
transaksi ini mungkin terkait erat, keduanya diatur oleh standar yang berbeda
dan memiliki implikasi penyajian yang berbeda pula. Pilihan metode penyajian
hibah akan memengaruhi baik laporan posisi keuangan (nilai tercatat aset atau
adanya pendapatan ditangguhkan) maupun laporan laba rugi (pengakuan pendapatan
hibah atau pengurangan beban penyusutan) di periode-periode berikutnya.
7. Pengungkapan Terkait
Perolehan Aset Tetap
Transparansi mengenai
perolehan dan perubahan aset tetap merupakan hal penting bagi pengguna laporan
keuangan. PSAK 216 (kemungkinan besar mengadopsi persyaratan pengungkapan dari
PSAK 16 paragraf 73-79) mensyaratkan entitas untuk mengungkapkan informasi yang
memadai dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) agar pengguna dapat memahami
dasar pengukuran yang digunakan dan melacak perubahan jumlah tercatat aset
tetap dari awal hingga akhir periode pelaporan.
Terkait secara spesifik dengan
perolehan aset tetap, pengungkapan kunci yang disyaratkan meliputi:
- Dasar Pengukuran:
Mengungkapkan dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukan jumlah
tercatat bruto aset tetap (misalnya, model biaya atau model revaluasi –
meskipun fokus laporan ini pada perolehan dengan model biaya).
- Rekonsiliasi Jumlah Tercatat:
Menyajikan rekonsiliasi (mutasi) jumlah tercatat aset tetap pada awal dan
akhir periode untuk setiap kelompok aset tetap. Rekonsiliasi ini harus
menunjukkan secara terpisah :
- Penambahan (Additions):
Jumlah aset tetap yang diperoleh selama periode, baik melalui pembelian
maupun pembangunan sendiri.
- Akuisisi melalui Kombinasi Bisnis:
Jumlah aset tetap yang diperoleh sebagai bagian dari transaksi kombinasi
bisnis (jika relevan).
- Aset yang Diklasifikasikan sebagai
Dimiliki untuk Dijual: Jumlah aset tetap yang
direklasifikasi menjadi kelompok lepasan yang dimiliki untuk dijual
sesuai PSAK 105/58, serta pelepasan lainnya.
- (Rekonsiliasi ini juga mencakup item lain
seperti pelepasan, penurunan nilai, revaluasi, penyusutan, dan dampak
perubahan kurs, namun fokus di sini adalah pada item terkait perolehan).
- Jaminan dan Restriksi: Mengungkapkan
keberadaan dan jumlah aset tetap yang dijadikan jaminan atas liabilitas
(utang) entitas, serta adanya pembatasan (restriksi) lain atas hak milik
aset tetap.
- Aset dalam Pembangunan (KDP):
Mengungkapkan jumlah pengeluaran yang telah diakui dalam jumlah tercatat
untuk item aset tetap yang masih dalam proses pembangunan (Konstruksi
Dalam Pengerjaan - KDP).
- Komitmen Kontraktual:
Mengungkapkan jumlah komitmen kontraktual yang dimiliki entitas untuk
memperoleh aset tetap di masa depan (misalnya, kontrak pembelian mesin
atau pembangunan gedung yang sudah ditandatangani tetapi asetnya belum
diterima/selesai).
- Pertukaran Aset:
Jika aset diperoleh melalui pertukaran, mengungkapkan pertimbangan
signifikan yang digunakan dalam menentukan apakah pertukaran tersebut
memiliki substansi komersial.
- Hibah Pemerintah:
Jika aset diperoleh melalui hibah pemerintah, mengungkapkan kebijakan
akuntansi yang diterapkan untuk hibah (metode pendapatan ditangguhkan atau
pengurang aset) serta sifat dan jumlah hibah yang diakui, sesuai
persyaratan PSAK 61/243.
- Hasil Selama Pengujian:
Mengungkapkan jumlah hasil penjualan dan biaya perolehan terkait item yang
dihasilkan selama pengujian aset (jika jumlahnya material dan tidak
disajikan secara terpisah dalam laporan laba rugi), serta pos laporan laba
rugi di mana jumlah tersebut disajikan, sesuai dengan amendemen terkait.
Pengungkapan-pengungkapan ini bertujuan
memberikan transparansi kepada pengguna laporan keuangan mengenai aktivitas
investasi entitas dalam aset tetap. Informasi mengenai sumber penambahan aset,
dasar pengukurannya, aset yang masih dalam proses konstruksi, aset yang
dijaminkan, serta komitmen belanja modal di masa depan sangatlah relevan bagi
investor dan kreditur dalam mengevaluasi kinerja, posisi keuangan, risiko, dan
prospek arus kas entitas. Oleh karena itu, entitas harus memastikan bahwa
sistem akuntansi dan pelaporannya mampu menghasilkan informasi yang detail dan
akurat untuk memenuhi seluruh persyaratan pengungkapan dalam PSAK 216.
8. Kesimpulan dan Penekanan
Penting
Perlakuan akuntansi untuk
perolehan aset tetap berdasarkan PSAK 216 melibatkan serangkaian prinsip dan
aturan yang harus diterapkan secara cermat oleh entitas. Dimulai dari pemahaman
definisi aset tetap sebagai aset berwujud yang digunakan dalam operasi selama
lebih dari satu periode, hingga penerapan kriteria pengakuan ganda (manfaat
ekonomi masa depan dan pengukuran biaya andal), standar ini memberikan kerangka
kerja yang jelas. Pengukuran awal aset tetap dilakukan sebesar biaya
perolehannya, yang mencakup harga beli (setelah penyesuaian pajak
non-refundable dan diskon) serta semua biaya yang dapat diatribusikan secara
langsung untuk membawa aset ke lokasi dan kondisi siap pakai, termasuk estimasi
biaya pembongkaran jika terdapat kewajiban.
PSAK 216 juga memberikan
panduan spesifik untuk metode perolehan yang beragam. Pembelian dengan
pembayaran ditangguhkan diukur pada nilai tunai setara, dengan selisihnya
diakui sebagai bunga (kecuali jika memenuhi syarat kapitalisasi menurut PSAK
223). Pertukaran aset diukur berdasarkan nilai wajar jika memiliki substansi
komersial (dengan pengakuan laba/rugi), atau berdasarkan nilai tercatat jika
tidak memiliki substansi komersial (tanpa pengakuan laba/rugi). Aset yang
dibangun sendiri mencakup biaya material, tenaga kerja, overhead yang relevan,
dan kapitalisasi biaya pinjaman sesuai PSAK 223, namun mengecualikan biaya
abnormal. Perolehan melalui hibah pemerintah mengikuti PSAK 216 untuk asetnya
dan PSAK 243/61 untuk perlakuan hibahnya. Terakhir, pengungkapan yang
komprehensif mengenai dasar pengukuran, rekonsiliasi mutasi, komitmen, dan
informasi relevan lainnya sangat penting untuk transparansi.
Dalam penerapannya, beberapa
area dalam PSAK 216 memerlukan penggunaan judgement profesional yang
signifikan. Penentuan apakah suatu biaya dapat diatribusikan secara langsung,
penilaian keberadaan substansi komersial dalam pertukaran aset, pembuatan
estimasi biaya pembongkaran dan restorasi, serta identifikasi aset
kualifikasian untuk kapitalisasi biaya pinjaman adalah contoh area yang
membutuhkan analisis dan pertimbangan cermat berdasarkan fakta dan keadaan
spesifik. Konsistensi dalam penerapan kebijakan akuntansi yang dipilih
(misalnya, metode penyajian hibah pemerintah) juga merupakan kunci untuk
keterbandingan laporan keuangan antar periode.
Sebagai penutup, tulisan ini
menyajikan ringkasan dan interpretasi ketentuan PSAK 216 terkait perolehan aset
tetap. Namun, untuk tujuan penerapan praktis dan kepatuhan penuh, entitas wajib
selalu merujuk pada teks standar PSAK 216 final yang diterbitkan secara
resmi oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), beserta Interpretasi Standar
Akuntansi Keuangan (ISAK) dan panduan implementasi lain yang mungkin
menyertainya. Standar akuntansi bersifat dinamis dan dapat mengalami pembaruan
atau klarifikasi lebih lanjut. Mengingat konteks konvergensi IFRS yang terus
berjalan di Indonesia, pemantauan terhadap perkembangan standar akuntansi
internasional yang relevan juga dianjurkan untuk mengantisipasi potensi
perubahan di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar